Otonomi daerah bukan saja hal yang menarik untuk dibicarakan, tetapi juga merupakan salah satu hal yang hampir terlupakan selama beberapa tahun terakhir ini, padahal aturannya jelas diatur dalam undang-undang.
Dilihat dari sudut ketatanegaraan dan pengertian administrasi pemerintahan, memang bisa terjadi kepentingan daerah tertentu tak terlayani oleh pusat. Keadaan demikian biasanya terjadi dalam sistem administrasi pemerintahan yang terlalu bersifat sentralistis disuatu negara yang besar. Administrasi pemerintah suatu negara yang terlalu bersifat sentralistis akan kurang efektif dalam melayani urusan-urusan ditingkat lokal.
Adanya kesalahan pengertian dikalangan masyarakat adalah pemerintahan itu cenderung hanya ditingkat pusat saja. Padahal sebenarnya peranan pemerintah tingkat daerah cukup besar, tidak hanya sekedar merupakan pelaksanaan keputusan-keputusan yang dilaksanak ditingkat pusat. Untuk itu, dalam makalah ini penulis akan mencoba memaparkan mengenai otonomi daerah.
Menurut UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang dimaksud Daerah Otonom adalah kesatuan masyrakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu, berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan yang dimaksud otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.[1]
Otonomi dimaknakan sebagai kebebasan dalam arti seluas-luasnya, sehingga tidak memikirkan kebutuhan, kepentingan ataupun keterkaitn dengan daerah lain. Bahkan keterkaitannya dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terjadi kemudian maraknya keinginan-keinginan disintegrasi. Demikian juga otonomi daerah dimaknakan sebagai kemandirian daerah yang terlalu berlebih-lebihan, sehingga menunjukkan adanya eksklusivisme daerah.
Pelaksanaan otonomi dengan UU No. 22 Tahn 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 memang tampak lebih tegas, pas dan nyata dengan pengertian asli otonomi, adalah: kebebasan, kemandirian, self independence atau dispersion of power. Otonomi masih dimaknakan sebagai desentralisasi administratif (fungsi pemerintahan pusat dilaksanakan oleh pejabat/pegawai daerah) daripada devolution (pemerintah pusat meberikan wewenang otonom kepada daerah untuk membuat keputusan sendiri dalam urusan-urusn tertentu).[2]
Otonomi daerah terlahir atas kesepakatan untuk menjalankan kebijakan desentralisasi dari aspek yuridis konstitusional. Kebijakan Otonomi Daerah dalam UUD 1945 jelas terlihat dalam sistem pemerintahan, didalamnya juga mengatur tentang Pemerintahan Daerah. Kebijakan hukum tentang otonomi daerah yang menjadi landasan kuat untuk mengembangkan demokrasi diseluruh strata pemerintahan, karena demokrasi adalah merupakan salah satu paradigma konstitusional dan prinsip dasar yang dianut oleh Indonesia.
Agenda otonomi daerah adalah agenda nasional yang sangat penting dan telah menjadi wacana publik ketika bangsa sedang dalam kondisi yang kompleks dan belum jelas arah kepastiannya. Otonomi daerah dianggap sebagai pilihan yang tepat untuk meningkatkan derajat keadilan sosial secara proporsional antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Dalam hal ini kaitannya dengan penentuan kebijakan publik, penguasaan asset ekonomi serta pengendalian sumber daya lokal.
UU No. 22 Tahun 1999 yang mengatur tentang Pemerintah Daerah, didalamnya terdapat prinsip-prinsip otonomi yang dianut, yaitu:
1. Dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan serta potensi dan keanekaragaman daerah.
2. Didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggungjawab.
3. Otonomi daerah kabupaten dan kota merupakan otonomi luas, sedangkan untuk propinsi merupakan otonomi terbatas.
4. Pelaksanaannya harus sesuai dengan konstitusi negara.
5. Pelaksanaannya harus lebih meningkatkan kemandirian daerah otonom.
6. Pelaksanaan otonomi harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif daerah, baik sebagai fungsi legislasi, fungsi pengawasan maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan pemerintah daerah.
7. Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada daerah propinsi dalam kedudukannya sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah.
8. Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari Pemerintah kepada Daerah, tetapi juga dari Pemerintah dan daerah kepada desa.[3]
Sebagaimana biasanya fungsi Penjelasan suatu UU, Penjelasan di atas sangat penting artinya bagi kepastian hukum mengenai Pemerintahan dan otonomi Daerah ini, untuk
diketahui semua pihak baik kalangan Pusat maupun Daerah. Perlu pula diingat bahwa
Penjelasan itu sebagai bagian yang senyawa dan tak terpisah dari pasal-pasal UU itu,
adalah produk kesepakatan wakil-wakil rakyat secara Nasional, baik dari sudut kebijakan (policy, beleid) maupun dari sudut perundang-undangan (yuridis), dan bahwa ketentuan-ketentuan itu mengikat bagi semua pihak.[4]
Prinsip otonomi yang dianut adalah otonomi yang nyata, bertanggung jawab dan dinamis, diharapkan dapat lebih mudah untuk direalisasikan. “Nyata” berarti otonomi secara nyata diperlukan sesuai dengan situasi dan kondisi obyektif didaerah. “Bertanggung jawab” mengandung arti pemberian otonomi diselaraskan atau diupayakan untuk memperlancar pembangunan diseluruh pelosok tanah air. “Dinamis” berarti pelaksanaan otonomi selalu menjadi sarana dan dorongan untuk lebih baik dan maju.[5]
UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, berbeda dengan UU No. 5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, yang dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah melaksanakan asas desentralisasi berdampingan dengan asas dekonsentrasi, kalau UU NO.22/1999 tentang Pemerintah Daerah lebih mengutamakan asas desentralisasi.[6]
Bersamaan dengan gelombang reformasi, tuntutan pelaksanaan otonomi daerah , terutama dari daerah-daerah yang memiliki sumber daya alam melimpah, akhirnya terwujud juga dengan dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999. Aturan ini memberikan otonomi yang sangat luas kepada daerah, khususnya kabupaten dan kota, dengan maksud untuk meningkatkan kualitas demokrasi di daerah.
Masalahnya, pemerintahan demokratis yang datang setelah pergantian rezim tidak memiliki kekuatan “pemersatu nasional” seperti yang dimiliki rezim sebelumnya. Juga tidak memiliki daya sentrifugal politis. Banyak propinsi yang kaya dengan SDA menyatakan ketidakpuasan akan hasil eksploitasi SDA-nya yang sebagian besar digunakan oleh pemerintah pusat. Struktur pemerintahan terpusat telah mengakibatkan kesenjangan regional antara Jakarta atau Jawa dengan luar Jawa, maupun antara Kawasan Indonesia Timur dan Kawasan Indonesia Barat. Rasa sentimen yang muncul adalah sumbangan yang sangat besar yang diberikan propinsi yang kaya akan SDA pada pembangunan ekonomi nasional tidak sebanding dengan manfaat yang diterima.[7]
Dengan demikian, ternyata masih banyak kasus mengenai otonomi daerah. Pengembangan negara kita cenderung hanya pada ibukota Jakarta saja. Sementara itu, pengembangan di beberapa wilayah tertentu cenderung hanya dijadikan objek “perahan” pemerintah pusat. Hal ini terlihat dalam pembagian kekayaan yang tidak merata. Sebab daerah yang memiliki sumber kekayaan alam yang melimpah, seperti Aceh, Sulawesi, Kalimantan dan Irian Jaya, ternyata tidak menerima perolehan dana yang patut dari pemerintah pusat. Hal ini terbukti dengan masih banyak daerah-daerah terpencil yang masih belum berkembang, tidak adanya kebijakan dari pemerintah pusat, seperti telah dipaparkan diatas, bahwa hasil kekayaan alamnya hanya untuk pengembangan di ibukota saja. Padahal masih banya daera yang perlu dikembangkan dan mendapat perhatian khusus dari pemerintah pusat.
UU No. 22 Tahun 1999 menyerahkan fungsi, personil, dan aset dari pemerintah pusat kepada pemerintah propinsi, kabupaten dan kota. Hal ini berarti bahwa tambahan kekuasaan dan tanggung jawab diserahkan kepada pemerintah kabupaten dan kota, dan membentuk sistem yang jauh lebih terdesentralisasi dibandingkan dengan sistem dekonsentrasi dan koadministratif [8] dimasa lalu.
Disadari bahwa hakikat otonomi, pengarahan maupun prinsipnya, walaupun telah dituangkan dalam Undang-undang No.5 Tahun 1974 belum sepenuhnya dapat berjalan lancar. Namun dari hasil kemajuan penyelenggaraan Otonomi Daerah dapat diamati bahwa otonomi tersebut minimal telah dapat diwujudkan di Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II, yang tentu saja intensitas dan bobotnya masih terdapat perbedaan antara daerah satu dengan yang lain, yang tentunya sesuai dengan kondisi dan tingkat perkembangan masing-masing daerah.
Apabila dikaji dari Undang-undang No.5 Tahun 1974 maka pengertian otonomi bagi suatu daerah tersebut harus mampu:
a. Berinisitif sendiri (menyusun kebijaksanaan daerah dan menyusun rencana pelaksanaannya).
b. Memiliki alat pelaksana sendiri yang qualified.
c. Membuat peraturan sendiri dengan PERDA.
d. Menggali sumber-sumber keuangan sendiri, menetapkan pajak, retribusi dan lain-lain usaha yang sah sesuai dengan peraturan yang berlaku.[9]
Dari uraian tersebut, jelaslah bahwa dengan otonomi daerah dapat dipandang sebagai cara untuk mewujudkan secara nyata penyelenggaraan pemerintah yang efektif, efisien dan berwibawa guna mewujudkan pemberian pelayanan kepada masyarakat.
Pada pasal 11 Undang-undang No.5 Tahun 1974 dengan tegas mengesahkan agar titik berat otonomi daerah diletakkan pada daerah tingkat ll. Alasan untuk melaksanakan pada Dati ll adalah karena Dati ll yang langsung berhubungan dengan masyarakat, sesungguhny lebih mampu memahami dan memenuhi aspirasi-aspirasi masyarakat tersebut. Penegasan tentang titik berat otonomi pada Dati ll ini diperlukan dalam ranngka meningkatkan pelayanan pemerintah terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan.
Makna titik berat otonomi diletakkan pada Dati ll adalah semakin banyaknya urusan pemerintah, baik jumlahnya maupun jenisnya diserahkan pada Dati ll. Dengan demikian semakin besar peranan Dati ll dalam memberikan pelayanan terhadap masyarakat dallam ikut serta membangun daerahnya. Hal ini telah dicanangkan oleh Bapak Presiden dalam Pidato Kenegaraannya pada tanggal 16 Agustus 1990 di depan DPR.[10]
Untuk meningkatkan kemampuan Daerah dalm menyelenggarakan wewenangnya, Pemerintah Pusat melakukan Pembinaan dan Pengawasan, diamping untuk menjaga agar wewenang yang dimiliki oleh Daerah dapat dilaksanakan sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku dan Daerah dapat mencapai tujuan yang sudah ditentukan.
Menurut penjelasan umum Undang-undang No.22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, yang dimaksud dengan Pembinaan adalah lebih ditekankan pada memfasilitasi dalam upaya pemberdayaan Daerah Otonom, sedangkan Pengawasan lebih ditekankan pada pengawasan represif untuk lebih memberikan kebebasan Daerah Otonom dalam mengambil keputusan serta memberikan peran kepada DPRD dalam mewujudkan fungsinya sebagai badan pengawas terhadap pelaksanaan Otonomi Daerah.
Dalam rangka pembinaan, Pemerintah Pusat memfasilitasi penyelenggaraan Otonomi Daerah, dalam bentuk upaya memberdayakan Daerah Otonom melalui pemberian pedoman bimbingan, pelatihan, arahan dan supervisi. Sedangkan dalam rangka pengawasan, Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah harus disampaikan kepada Pemerintah Pusat selambat-lambatnya 15 hari setelah ditetapkan.[11] Karena faktanya banyak dijumpai Peraturan Daerah yang sudah bertahun-tahun akhirnya diketahui bertentangan dengan peraturan perundang-undangan pemerintah pusat. Untuk itu perlu adanya jalur dokumentasinya antara pusat dan daerah, sehingga mudah dipantau oleh pemerintah pusat.[12]
Penyelenggaraan otonomi yang sehat dapat diwujudkan pertama-tama dan terutama ditentukan oleh kapasitas yang dimiliki oleh manusia pelaksananya. Penyelenggaraan otonomi daerah hanya dapat berjalan dengan sebaik-baiknya apabila manusia pelaksananya baik, dalam artian mentalitas maupun kapasitasnya.
Pentingnya posisi manusia pelaksana ini karena manusia merupakan unsur dinamis dalam organisasi yangg bertindak/berfungsi sebagai subyek penggerak roda organisasi pemerintahan. Oleh sebab itu, kualifikasi mentalitas dan kapasitas manusia yang kurang memadai dengan sendirinya melahirkan implikasi yang kurang menguuntungkan bagi penyelenggaraan otonomi daerah. Manusia pelaksana pemerintahan derah dapat dikelompokkan kedalam beberapa kelompok, masing-masing:
a. Pemerintaha Daerah yang terdiri dari Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
b. Alat-alat perlengkapan daerah, yakni aparatur atau pgawai Daerah.
c. Rakyat Daerah, yakni sebagai komponen environmental (lingkungan) yang merupakan sumber energi terpenting bagi Daerah sebagai organisasi yang bersistem terbuka.
Ketiga komponen inilah yang sangat penting untuk diperhatikan dalam upaya mewujudkan Otonomi Daerah yang benar-benar sehat.[13]
KESIMPULAN
Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam penyelenggaraan pemerintahannya memlih menggunakan sistem desentralisasi, sebagaimana yang terlihat dalam ketentuan UUD 1945. Sebagai konsekuensi dipilihnya asas/sistem desentralisasi ini, maka dibentuklah unit-unit pemerintahan setempat yang disebut Daerah Otonom, yakni daerah yang berhak dan berkewajiban untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri atas dasar kebijaksanaan dan inisiatif.
Karena penyelenggaraan otonomi Daerah merupakan pilihan politik yang telah dikukuhkan secara konstitusional dan juga memiliki alasan-alasan pembenar secara teoritis yang dapat dipertanggungjawabkan, maka pemerintah dan seluruh rakyat Indonesia haruslah mewujudkan terselenggaranya otonomi yang sehat.
DAFTAR PUSTAKA
· Abdullah, Rozali. Pelaksanaan Otonomi Luas dan Isu Federalisme Sebagai Suatu Alternatif, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.
· Riwu Kaho, Josef. Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.
· Hamid Edy Suandy, Memperkokoh Otonomi Daerah, Yogyakarta : UII Press, 2004.
· Mudrajad Kuncoro, Otonomi dan Pembangunan Daerah, Jakarta:Erlangga, 2004.
· Rozak, Abdul. Pendidikan Kewarganegaraan, Jakarta: Prenada Media Group, 2000.
[1] Prof.H.Rozali, Pelaksanaan Otonomi Luas dan Isu Federalisme sebagai Suatu Alternatif, Jakarta:Grafindo Jaya, 2000, hlm.11
[8] Koadministratif adalah ketika pemerintah ditingkat yang lebih atas mengarahkan bawahannya untuk mengambil alih tugas dan fungsi dan pemerintah ditingkat yang lebih atas menentukan tujuan, menyediakan biaya, infrastruktur dan SDM untuk melaksanakan tugas.
[13] Drs. Josef Riwu Kaho, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia, Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2005, hlm.277

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan coret-coret