Kodifikasi dan Legalisasi Hukum Islam di
Indonesia
Ditinjau dari segi bentuknya, hukum
dapat dibedakan atas:
a). Hukum Tertulis (statute law, written law), yaitu hukum yang dicantumkan dalam pelbagai peraturan-peraturan. dan;
b). Hukum Tak Tertulis (unstatutery law, unwritten law), yaitu hukum yang masih hidup dalam keyakinan masyarakat, tetapi tidak tertulis namun berlakunya ditaati seperti suatu peraturan perundangan (hukum kebiasaan).
a). Hukum Tertulis (statute law, written law), yaitu hukum yang dicantumkan dalam pelbagai peraturan-peraturan. dan;
b). Hukum Tak Tertulis (unstatutery law, unwritten law), yaitu hukum yang masih hidup dalam keyakinan masyarakat, tetapi tidak tertulis namun berlakunya ditaati seperti suatu peraturan perundangan (hukum kebiasaan).
Kodifikasi hukum ialah pembukuan jenis-jenis hukum
tertentu dalam kitab undang-undang secara sistematis dan lengkap. Unsur-unsur
dari suatu kodifikasi:
a. Jenis-jenis hukum tertentu
b. Sistematis
c. Lengkap
a. Jenis-jenis hukum tertentu
b. Sistematis
c. Lengkap
Sejarah pengkodifikasian dan pelegalisasian
hokum islam di Indonesia, dimulai ketika zaman penjajahan VOC. Pada era ini, hukum
Islam telah mendapatkan legalitas pemberlakuannya secara positif melalui Resolutie
der Indische Regeering pada tanggal 25 Mei 1760. Saat itu kumpulan hukumnya
hanya berisis hukum perkawinan dan hukum kewarisan, yang dikenal dengan Compendium
Freijer. Compendium ini pun dipergunakan pada pengadilan VOC, tetapi hanya
berlaku bagi orang Indonesia saja. Pada era ini bagi orang islam berlaku penuh
hukum islam. Alasannya karena dia telah memeluk agama islam, sehingga berhak
untuk menjalankan hukum agamanya., namum hukum Islam yang berlaku tetaplah
hanya dalam masalah hukum keluarga, perkawinan dan warisan.[1]
Sedangkan dalam era orde baru ini banyak produk
hokum islam yang menjadi hokum positif yang berlaku secara yuridis dan formal.
Diantaranya adalah undang-undang perkawinan nomor 1 tahun 1974, Undang-
undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Kompilasi Hukum Islam Inpres no. 1 tahun 1991
(KHI).
Sejak masa kerajaan-kerajan Islam di nusantara, hukum Islam dan peradilan agama telah eksis. Tetapi hakim-hakim agama diperadilan tersebut sampai adanya KHI tidak mempunyai kitab hokum khusus sebagai pegangan dalam memecahkan kasus-kasus yang mereka hadapi. Dalam menghadapi kasus-kasus itu hakim-hakim tersebut merujuk kepada kitab-kitab fiqh yang puluhan banyaknya. Oleh karena itu sering terjadi dua kasus serupa apabila ditangani oleh dua orang hakim yang berbeda referensi kitabnya, keputusannya dapat berbeda pula, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum.[2]
Sejak masa kerajaan-kerajan Islam di nusantara, hukum Islam dan peradilan agama telah eksis. Tetapi hakim-hakim agama diperadilan tersebut sampai adanya KHI tidak mempunyai kitab hokum khusus sebagai pegangan dalam memecahkan kasus-kasus yang mereka hadapi. Dalam menghadapi kasus-kasus itu hakim-hakim tersebut merujuk kepada kitab-kitab fiqh yang puluhan banyaknya. Oleh karena itu sering terjadi dua kasus serupa apabila ditangani oleh dua orang hakim yang berbeda referensi kitabnya, keputusannya dapat berbeda pula, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum.[2]
Guna mengatasi ketidakpastian hukum tersebut pada Maret
1985 Presiden Soeharto mengambil prakarsa sehigga terbitlah Surat Keputusan
Bersama (SKB) Ketua Makamah Agung dan Departemen Agama.SKB itu membentuk proyek
kompilasi hukum islam dengan tujuan merancang tiga buku hukum, masing-masing
tentang Hukum perkawinan (Buku I), tentang Hukum Kewarisan (Buku II), dan tentang
Hukum Perwakafan (BUKU III)
Bulan Februari 1988 ketiga buku itu dilokakaryakan dan mendapat dukungan luas sebagai inovasi dari para ulama di seluruh Indonesia. Pada tanggal 10 Juni 1991 Suharto menandatangani Intruksi Presiden No. 1 tahun 1991 sebagai dasar hukum berlakunya KHI tersebut.[3]
Oleh karena itu sudah jelas bahwa dalam bidang perkawinan, kewarisan dan wakaf bagi pemeluk-pemeluk Islam telah ditetapkan oleh undang-undang yang berlaku adalah hukum Islam.
Bulan Februari 1988 ketiga buku itu dilokakaryakan dan mendapat dukungan luas sebagai inovasi dari para ulama di seluruh Indonesia. Pada tanggal 10 Juni 1991 Suharto menandatangani Intruksi Presiden No. 1 tahun 1991 sebagai dasar hukum berlakunya KHI tersebut.[3]
Oleh karena itu sudah jelas bahwa dalam bidang perkawinan, kewarisan dan wakaf bagi pemeluk-pemeluk Islam telah ditetapkan oleh undang-undang yang berlaku adalah hukum Islam.
BAB I
Zakat
a.
Definisi
Secara harfiah zakat berarti
"tumbuh", "berkembang", "menyucikan", atau
"membersihkan". Sedangkan secara terminologi syari'ah, zakat merujuk pada aktivitas memberikan sebagian
kekayaan dalam jumlah dan perhitungan tertentu untuk orang-orang tertentu
sebagaimana ditentukan.[4] Zakat adalah ibadah kemasyarakatan
yang berkaitan langsung dengan ekonomi keuangan, social
kemasyarakatan dan pemerintahan, serta merupakan salah satu rukun islam yang
secara dinyatakan kewajibannya didalam Al-Qur’an maupun hadits, sehingga
perintah menunaikannya oleh Al-Qur’an hamper selalu dirangkaikan dengan
perintah shalat.[5]
Pada masa
kepemimpinan nabi Muhammad saw, kewajiban melaksanakan rukun islam masih sangat
kuat, karena umat islam pada masa itu bertemu langsung dengan pembawa syariat,
yaitu nabi Muhammad saw. Kewajiban mengeluarkan zakat dari aghniya’/orang
yang mampu dikontrol langsung oleh nabi, sehingga praktek zakat berjalan dengan
baik sesuai tuntutan syariat, artinya muzaki mengeluarkan zakatnya sesuai tata
cara hitung dan kadar yang benar, dan mustahik pun menerima sesuai kondisi dan
kapasitas penerima zakat. Yang berhak menerima zakat adalah :
- Fakir
- Mereka yang hampir tidak memiliki apa-apa sehingga tidak mampu memenuhi
kebutuhan pokok hidup.
- Miskin
- Mereka yang memiliki harta namun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan
dasar untuk hidup.
- Amil
- Mereka yang mengumpulkan dan membagikan zakat.
- Muallaf
- Mereka yang baru masuk Islam dan membutuhkan bantuan untuk menyesuaikan
diri dengan keadaan barunya
- Hamba Sahaya
yang ingin memerdekakan dirinya
- Gharimin
- Mereka yang berhutang untuk kebutuhan yang halal dan tidak sanggup untuk
memenuhinya
- Fisabilillah
- Mereka yang berjuang di jalan Allah
(misal: dakwah, perang dsb)
- Ibnus Sabil
- Mereka yang kehabisan biaya di perjalanan.[6]
Dan
yang tidak berhak menerima zakat adalah
·
Orang kaya. Rasulullah bersabda,
"Tidak halal mengambil sedekah (zakat) bagi orang yang kaya dan orang yagn
mempunyai kekuatan tenaga." (HR Bukhari).
·
Hamba sahaya, karena masih mendapat
nafkah atau tanggungan dari tuannya.
- Keturunan
Rasulullah. Rasulullah bersabda, "Sesungguhnya tidak halal bagi kami
(ahlul bait) mengambil sedekah (zakat)." (HR Muslim).
- Orang
yang dalam tanggungan yang berzakat, misalnya anak dan istri.
- Orang
kafir.
Terdapat perbedaan pendapat dikalangan para sejarawan
islam tentang waktu pensyariatan zakat. Ada yang menyatakan pada tahun kedua
hijriah yang berarti satu tahun sebelum pensyariatan puasa, tetapi aa juga yang
berpendirian bahwa zakat disyariatkan pada tahun ketiga hijriah, yaitu satu
tahun setelah pensyariatan puasa. Lepas dari perbedaan itu, yang jelas nabi
Muhammad menerima perintah zakat setelah bekiau hijrah ke Madinah. [7]
b.
Dalil
mengenai perintah zakat :
وَأَقِيمُوا
الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
- QS (2:43) ("Dan dirikanlah salat,
tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'".
يَوْمَ يُحْمَى عَلَيْهَا فِي نَارِ جَهَنَّمَ فَتُكْوَى بِهَا
جِبَاهُهُمْ وَجُنُوبُهُمْ وَظُهُورُهُمْ هَذَا مَا كَنَزْتُمْ لأنْفُسِكُمْ
فَذُوقُوا مَا كُنْتُمْ تَكْنِزُونَ
QS (9:35) (Pada hari dipanaskan emas perak
itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan
punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: "Inilah harta bendamu yang
kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa
yang kamu simpan itu.")
وَهُوَ الَّذِي أَنْشَأَ جَنَّاتٍ مَعْرُوشَاتٍ وَغَيْرَ
مَعْرُوشَاتٍ وَالنَّخْلَ وَالزَّرْعَ مُخْتَلِفًا أُكُلُهُ وَالزَّيْتُونَ وَالرُّمَّانَ
مُتَشَابِهًا وَغَيْرَ مُتَشَابِهٍ كُلُوا مِنْ ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَآتُوا
حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ وَلا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
- QS (6: 141) (Dan Dialah yang menjadikan
kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma,
tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa
(bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang
bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari
memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah
kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang
berlebih-lebihan).
Pengelolaan zakat yang semakin berkembang dengan kondisi
umat islam yang berbeda-beda di masing-masing negaranya mendorong perlu adanya
fatwa yang berskala internasional mengenai model institusi pengelolaan zakat
dalam kondisi yang ada sekarang. Maka salah satu fatwa hasil symposium zakat
internasional yang diadakan di Bahrain 1994 menyebutkan bahwa “pengelolaan
zakat di zaman sekarang ini memiliki berbagai macam bentuk, ada yang dikelola
oleh pemerintah dan ada yang dikelola oleh masyarakat dan dikukuhkan oleh
pemerintah sebagai wujud nyata penunaian kewajiban agama mereka”.
Dr. Mundzir Qohf dalam salah satu tulisannya mengenai
zakat, beliau mengklasifikasikan model pengelolaan zakat yang dipraktekkan di
dunia islam ada dua model: pertama adalah pengelolaan zakat yang dipayungi oleh
undang-undang, ini ada dua model yaitu (1) model pengelolaan murni oleh
pemerintah, (2) dikelola oleh lembaga yang mendapatkan legalitas dari
pemerintah, kedua adalah pengelolaan yang alami tanpa ada payung
perundang-undangan yang pada hal ini diperankan oleh lembaga-lembaga islam
maupun ormas-ormas islam.[8]
c.
Hukum
zakat :
Zakat merupakan salah satu [rukun Islam], dan menjadi salah satu unsur pokok
bagi tegaknya [syariat Islam]. Oleh sebab itu hukum zakat adalah wajib (fardhu)
atas setiap muslim yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Zakat termasuk
dalam kategori ibadah, seperti:salat,haji,dan puasa yang telah diatur secara
rinci dan paten berdasarkan Al-Qur'an dan As Sunnah,sekaligus merupakan amal
sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan yang dapat berkembang sesuai dengan
perkembangan ummat manusia.
d. Zakat
terbagi atas dua tipe yakni:
- Zakat Fitrah
Zakat yang wajib dikeluarkan muslim menjelang Idul Fitri pada bulan Ramadan. Besar Zakat ini setara dengan 2,5 kilogram makanan pokok yang ada di daerah bersangkutan. - Zakat Maal (Harta)
Mencakup hasil perniagaan, pertanian, pertambangan, hasil laut, hasil ternak, harta temuan, emas dan perak. Masing-masing tipe memiliki perhitungannya sendiri-sendiri.
Kodifikasi hokum
zakat di Indonesia dapat diketahui di Undang-UndangRepublik Indonesia nomor 38
tahun 1999 tentang pengelolaan zakat.
BAB II
Wakaf
a.
Definisi
Ada beberapa pengertian
tentang wakaf antara lain:
·
Pengertian wakaf menurut mazhab syafi’i dan hambali
adalah seseorang menahan hartanya untuk bisa dimanfaatkan di segala bidang
kemaslahatan dengan tetap melanggengkan harta tersebut sebagai taqarrub kepada
Allah ta’alaa
·
Pengertian wakaf menurut mazhab hanafi adalah
menahan harta-benda sehingga menjadi hukum milik Allah ta’alaa, maka seseorang
yang mewakafkan sesuatu berarti ia melepaskan kepemilikan harta tersebut dan
memberikannya kepada Allah untuk bisa memberikan manfaatnya kepada manusia
secara tetap dan kontinyu, tidak boleh dijual, dihibahkan, ataupun diwariskan. Pengertian wakaf menurut imam Abu Hanafi adalah menahan harta-benda
atas kepemilikan orang yang berwakaf dan bershadaqah dari hasilnya atau
menyalurkan manfaat dari harta tersebut kepada orang-orang yang dicintainya.
Berdasarkan definisi dari Abu Hanifah ini, maka harta tersebut ada dalam
pengawasan orang yang berwakaf (wakif) selama ia masih hidup, dan bisa
diwariskan kepada ahli warisnya jika ia sudah meninggal baik untuk dijual ayau
dihibahkan. Definisi ini berbeda dengan definisi yang dikeluarkan oleh Abu
Yusuf dan Muhammad, sahabat Imam Abu Hanifah itu sendiri
·
Pengertian wakaf menurut mazhab maliki adalah memberikan sesuatu
hasil manfaat dari harta, dimana harta pokoknya tetap/lestari atas kepemilikan
pemberi manfaat tersebut walaupun sesaat
·
Pengertian wakaf menurut peraturan pemerintah no.
28 tahun 1977 adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan
sebagian harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk
selama-lamanya. Bagi kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai
dengan ajaran agama Islam.
Dari definisi tersebut
dapat diambil kesimpulan bahwa wakaf itu termasuk salah satu diantara macam
pemberian, akan tetapi hanya boleh diambil manfaatnya, dan bendanya harus tetap
utuh. Oleh karena itu, harta yang layak untuk diwakafkan adalah harta yang
tidak habis dipakai dan umumnya tidak dapat dipindahkan, mislanya tanah,
bangunan dan sejenisnya. Utamanya untuk kepentingan umum, misalnya untuk
masjid, mushala, pondok pesantren, panti asuhan, jalan umum, dan sebagainya.
b. Hukum
wakaf
Hukum wakaf sama dengan
amal jariyah. Sesuai dengan jenis amalnya maka berwakaf bukan sekedar berderma
(sedekah) biasa, tetapi lebih besar pahala dan manfaatnya terhadap orang yang
berwakaf. Pahala yang diterima mengalir terus menerus selama barang atau benda
yang diwakafkan itu masih berguna dan bermanfaat. Hukum wakaf adalah sunah.
Ditegaskan dalam hadits:
اِذَا مَاتَ ابْنَ ادَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ اِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَوْ عِلْمٍ يَنْتَفَعُ بِهِ اَوْ وَلَدِ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ (رواه مسلم)
Artinya: “Apabila
anak Adam meninggal dunia maka terputuslah semua amalnya, kecuali tiga (macam),
yaitu sedekah jariyah (yang mengalir terus), ilmu yang dimanfaatkan, atu anak
shaleh yang mendoakannya.” (HR Muslim)
c. Harta yang Diwakafkan
Wakaf meskipun tergolong pemberian sunah, namun tidak
bisa dikatakan sebagai sedekah biasa. Sebab harta yang diserahkan haruslah
harta yang tidak habis dipakai, tapi bermanfaat secara terus menerus dan tidak
boleh pula dimiliki secara perseorangan sebagai hak milik penuh. Oleh karena
itu, harta yang diwakafkan harus berwujud barang yang tahan lama dan bermanfaat
untuk orang banyak, misalnya:
a. sebidang tanah
b. pepohonan untuk diambil manfaat atau hasilnya
c. bangunan masjid, madrasah, atau jembatan
Harta yang diwakafkan
tidak boleh dijual, dihibahkan atau diwariskan. Akan tetapi, harta wakaf
tersebut harus secara terus menerus dapat dimanfaatkan untuk kepentingan umum
sebagaimana maksud orang yang mewakafkan. Hadits Nabi yang artinya: “Sesungguhnya
Umar telah mendapatkan sebidang tanah di Khaibar. Umar bertanya kepada
Rasulullah SAW; Wahai Rasulullah apakah perintahmu kepadaku sehubungan dengan
tanah tersebut? Beliau menjawab: Jika engkau suka tahanlah tanah itu dan
sedekahkan manfaatnya! Maka dengan petunjuk beliau itu, Umar menyedekahkan
tanahnya dengan perjanjian tidak akan dijual tanahnya, tidak dihibahkan dan
tidak pula diwariskan.” (HR Bukhari dan Muslim)
d. Macam-macam wakaf :
Bila ditinjau dari segi
peruntukan ditujukan kepada siapa wakaf itu, maka wakaf dapat dibagi dua macam
:
1.
Wakaf
Ahli
Yaitu wakaf yang ditujukan kepada orang-orang
tertentu, seorang atau lebih, keluarga si wakif atau bukan (wakaf dzurri).
Apabila ada seseorang mewakafkan sebidang tanah kepada anaknya, lalu kepada
cucunya, wakafnya sah dan yang berhak mengambil manfaatnya adalah mereka
ditunjuk dalam pernyataan wakaf.[9]
2.
Wakaf
Khairi
Yaitu wakaf yang secara tegas untuk
kepentingan agama (keagamaan) atau kemasyarakatan (kebajikan umum). Seperti
wakaf yang diserahkan untuk keperluan pembangunan masjid, sekolah, jembatan,
rumah sakit, panti asuhan anak yatim dan lain sebagainya.[10]
e. Pelaksanaan Wakaf di Indonesia
1.
Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik
2.
Peraturan Menteri dalam Negeri No. 6 Tahun 1977 tentang Tata Cara Pendaftaran
Tanah mengenai Perwakafan Tanah Milik
3.
Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1978 Tentang Peraturan Pelasanaan Peraturan
Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik
4.
Peraturan Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Islam No. Kep/P/75/1978 tentang
Formulir dan Pedoman Peraturan-Peraturan tentang Perwakafan Tanah Milik
[1]
Marzuki Wahid,Fiqh Madzhab Negara, Yogyakarta : LKiS, 2001, hlm,81
[2]
Tim Penyusun, Peradilan Agama di Indonesia; Sejarah Perkembangan Lembaga dan
Proses Pembentukkan Undang-Undangnya, Jakarta DEPAG, 2001
[3]
Ibid, 2
[4]
wikipedia
[5]
Hidayat Nur Wahid, Zakat dan Peran Negara, Jakarta : FOZ, 2006, hlm.xxii
[6]
Fath al-Qarib
[7]
Prof. Dr. H. M. Amin Suma, S.H , M.A
[8]
Dipl.Ec.M.Taufiq Ridlo,Lc,Pengelolaan Zakat di Negara islam, Jakarta : Forum
Zakat,2006. Hal 33
[9]
Drs.H. Ahmad Djunaidi. Jakarta : DirektoratPemberdayaan Wakaf Direktorat
Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Departemen agama RI,, 2006. Hal 14
[10]
Ibid hlm.16

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan coret-coret